You are here
Home ›Imperialisme: Apakah itu, Apa yang bukan dan Bagaimana itu berakhir.
Pada hari Senin 18 November, CWO mengadakan sebuah pertemuan publik di Manchester dengan topik imperialisme. Kami mempublikasikan presentasinya yang diikuti dengan catatan-catatan dari diskusi tersebut.
Presentasi
'Imperialisme', dalam istilah Marxis, memiliki definisi yang spesifik. Definisinya adalah definisi ekonomik yang menjelaskan bagaimana kapitalisme mendominasi dunia dan bagaimana kapitalisme bisa terus bertahan. penjelasan ini mendakwa kelas penguasa di setiap negara, baik negara besar maupun kecil. Yang membuat kita frustasi adalah, istilah ‘imperialisme’ yang telah dirusak dan dikaburkan hingga memiliki arti yang sangatlah berbeda bagi sebagian besar masyarakat. Ketika Lenin menulis Imperialism, The Highest Stage of Capitalism pada tahun 1916 (1), dia menanggapi penyalahgunaan istilah tersebut oleh apa yang disebut sebagai kaum sosialis Internasional Kedua. Dalam hal ini, kaum sosialis, yang mana Kautsky adalah contoh yang paling terkenal, telah kehilangan pemikiran Marxis mereka dan malah menaruh kepercayaan mereka pada negara dan reformisme. Ketika Perang Dunia Pertama sudah tepat di depan mata, mereka melakukan berbagai upaya oportunis untuk menciptakan sebuah definisi imperialisme yang membenarkan dukungan mereka terhadap upaya perang negara mereka sendiri. Faktanya, di sepanjang kritik Lenin, kita bisa melihat bahwa para pembela imperialisme yang kapitalis, yaitu mereka yang menginginkan kehancuran dunia, mengedepankan pemahaman yang lebih baik tentang imperialisme daripada kaum sosialis yang sesat.
Hari ini kita malah memiliki masalah yang lebih banyak, paling tidak sejak penyimpangan atau distorsi Stalin terhadap banyak istilah (2). Bahkan, mungkin satu-satunya kata yang lebih terdistorsi daripada imperialisme adalah komunisme itu sendiri. Sekarang, kata ‘imperialisme’ ditemukan di setiap poster ‘komunis’. Ketika kaum internasionalis kedua mendefinisikan ulang imperialisme untuk membela negara-negara Barat mereka sendiri, kaum kiri yang dipengaruhi oleh distorsi Stalinis dan Trotskyis mendefinisikan ulang imperialisme untuk membela musuh Barat dimana pun. Gaddafi, Hussein, Chavez, dan yang terbaru Sinwar, semuanya menjadi pejuang anti-imperialis yang mulia. Namun, kejadian di Ukraina mengingatkan kita bahwa banyak kaum liberal biasa yang dengan senang hati mau menggunakan istilah ini juga, yang sekarang istilahnya diterapkan ke Rusia – sekali lagi, untuk mendukung satu pihak yang berperang melawan pihak yang lain.
Singkatnya, imperialisme bukan hanya sekedar kebijakan yang diambil oleh satu negara terhadap negara lain.
Kita tidak dapat berbicara tentang imperialisme tanpa berbicara tentang kapitalisme. Secara teori, kapitalisme, sebagaimana diajarkan kepada kita, didefinisikan oleh pasar bebas, persaingan bebas antara para pemilik individu dari bisnis manufaktur. Di Eropa pada tahun 1860-an, bentuk kapitalisme ini berada di titik puncaknya, dengan industrialisasi yang telah selesai. Krisis finansial yang terjadi pada tahun 1873 menyaksikan munculnya perkembangan kartel atau persekongkolan— bisnis yang bergabung bersama untuk mengalahkan persaingan di pasar. Selama masa kejayaan atau Booming singkat pada tahun 1889, semakin banyak bisnis yang bergabung dengan kartel atau persekongkolan, dan sepanjang tahun 1890-an sistem kartel menjadi bentuk bisnis yang paling mapan dan tahan lama – terutama dalam perdagangan bahan mentah. Pada krisis ekonomi berikutnya di tahun 1900-1903, kartel tampak seperti solusi bagi para kapitalis, dan persaingan bebas adalah masalahnya. Kepemilikan alat produksi pun sudah berada di jalur pemusatan atau perkonsentrasian di tangan yang kecil dan jumlahnya yang makin lama menyusut. Dengan kata lain, Monopoli. Monopoli, yang dibentuk oleh aliansi awal beberapa bisnis, berada dalam posisi untuk menggertak, memeras, dan membasmi bisnis yang lebih kecil. Pemilik konglomerat pun tidak memiliki pengetahuan khusus tentang industri tetapi tahu cara mengumpulkan dan menginvestasikan kekayaan. Kami menyebut mereka sebagai spekulator/spekulan keuangan.
Ketika alat-alat produksi terkonsentrasi, begitu juga dengan bank-bank,
dan tujuan atau fungsi mereka pun berubah dalam prosesnya. Awalnya, bank merupakan perantara yang digunakan para kapitalis untuk melakukan pembayaran. Seperti halnya kartel, bank-bank kecil menjadi terserap atau tersingkir oleh aliansi perbankan yang semakin berkembang dan membesar, aliansi yang pada akhirnya dapat mengambil kendali penuh atas pemilik bisnis kapitalis, dan begitu pula, mengendalikan kapitalisme, Kemudian akhirnya, bank-bank terbesar dan bisnis-bisnis terbesar mulai beroperasi bersamaan, dan sistem monopoli ini disempurnakan oleh penyatuan bank-bank, bisnis-bisnis, dan negara. Dalam kata-kata Lenin, ”semacam pembagian kerja di antara ratusan raja keuangan yang menguasai masyarakat kapitalis modern”. Kendali penuh atas ekonomi tidak lagi berada di tangan para pemilik industri, tetapi di tangan para spekulator dan bankir; pemisahan yang sangat besar antara kapital finansial dan kapital produktif, inilah kapital keuangan yang mempunyai bentuk paling kuat. Negara yang paling kuat bukan lagi negara yang memproduksi paling banyak melainkan negara yang memiliki (kapital) paling banyak. Di sanalah kita memiliki apa yang kita sebut sebagai negara adikuasa, sebagian negara berjumlah kecil yang menjalankan kapitalisme melalui dominasi finansial.
Pada titik tertentu, dorongan kapitalis untuk melakukan ekspansi membuat para kapitalis keluar dari tanah airnya untuk mencari keuntungan yang lebih besar. Mereka mulai mengekspor kapital ke negara-negara yang kurang berkembang secara ekonomi, berinvestasi dalam industri di luar negeri, memberikan pinjaman, dan akhirnya memaksakan model kapitalisme monopoli ke seluruh dunia. Seluruh dunia kemudian terbagi di antara negara-negara kapitalis yang sangat maju. Tidak adapun yang terlewat– di mana ada keuntungan, maka disitulah keuntungan dapat diambil– tanpa memperhatikan kehidupan manusia atau kesehatan ekologi. Dan sekali lagi, aliansi terbentuk di antara para kapitalis dari berbagai negara, di antara negara dan di antara para pemilik kapital, untuk menghilangkan persaingan dari negara lain. Sangat mudah untuk dilihat, tanpa banyak penjelasan sama sekali, bagaimana sistem seperti ini berujung pada persaingan internasional, dan pada saat terjadi krisis, menjadi perang. Hal ini tidak berubah hingga saat ini. Kemerdekaan dan kemandirian politik suatu negara tidak akan pernah menjadi kemerdekaan 'sejati' karena ekonomi dan militer mereka bergantung pada dukungan dari negara adikuasa, atau bahkan terjebak di antara negara adikuasa yang bersaing. Kita juga bisa menyebut negara-negara ini sebagai negara proxy atau negara klien. Dalam situasi ini, tiada persaingan ekonomi, tiada perang, tiada kudeta, yang dapat terjadi di luar dominasi dunia kapitalis- di luar imperialisme.
Imperialisme dengan demikian menjadi sebuah fase kapitalisme, bukan hanya kebijakan hubungan internasional masing-masing negara. Lenin memberikan lima fitur penting:
- Konsentrasi produksi dan kapital berkembang sedemikian rupa sehingga menimbulkan monopoli yang mempunyai peranan menentukan dalam kehidupan perekonomian.
- Penggabungan kapital bank dengan kapital industri, dan penciptaan, atas dasar ‘kapital keuangan’ ini, sebuah ‘oligarki keuangan’.
- Ekspor kapital, yang telah menjadi sangat penting, sebagaimana dibedakan dari ekspor komoditas.
- Pembentukan monopoli kapitalis internasional yang membagi dunia di antara mereka sendiri.
- Pembagian wilayah dunia di antara kekuatan kapitalis terbesar telah selesai.
Hari ini, kita berada di jalan yang menakutkan menuju perang dunia lainnya. Perang di Ukraina dan Rusia, Israel, Palestina dan Lebanon, Sudan, Myanmar, dan pembantaian tragis lainnya yang tak terhitung jumlahnya, bukanlah insiden yang terisolasi. Kejadian-kejadian tersebut bukan hanya produk dari para demagog tertentu, tribalisme agama, atau tradisi nasional yang luar biasa. Itu semua adalah perang kapitalis dengan negara-negara kapitalis yang kuat bergeser dan berbaris di belakang hal tersebut. Ketika kaum kapitalis yang putus asa takut kehilangan keuntungan mereka, dan perang mengundang para pembela kapital nasional, aliansi yang lebih erat, meskipun bergeseran, sedang dibentuk di antara penguasa untuk mempersiapkan diri. Dari sinilah timbul salah satu perpisahan kita dengan Lenin, yaitu dalam pernyataannya mengenai hak bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Tesis tentang Imperialisme tahun 1915 yang diterbitkan oleh Gazeta Robotnicza Polandia, ditandatangani antara lain oleh Karl Radek.(3) Tesis ini mencerminkan Perang Dunia Pertama, serta pengalaman kampanye kemerdekaan Polandia. Yang layak dikutip:
“Pada masa kini, dengan mempertimbangkan pengalaman perang dunia, penggunaan slogan kemerdekaan sebagai alat perjuangan melawan penindasan nasional bukan hanya merupakan utopia yang merusak, tetapi juga pengingkaran terhadap dasar-dasar sosialisme yang paling sederhana. Slogan ini berarti berjuang untuk menciptakan sebuah kekuatan imperialis baru, sebuah kekuatan yang dengan sendirinya akan berjuang untuk menaklukkan dan menindas bangsa-bangsa asing. Satu-satunya hasil dari program seperti ini adalah melemahnya kesadaran kelas, memperburuk kontradiksi-kontradiksi nasional, terpecahnya kekuatan kaum proletar, dan meningkatkan bahaya perang yang baru.”
Di sisi lain, jika kemerdekaan tidak menghasilkan terciptanya negara yang cukup kuat untuk menundukkan dan menindas negara asing, negara yang baru merdeka itu menjadi “koloni militer dari satu atau beberapa blok negara adikuasa, pusat kepentingan militer dan ekonomi mereka, wilayah eksploitasi kapital asing, dan medan perang masa depan.”
Pada hakikatnya, imperialisme tidak dapat diperangi melalui perjuangan pembebasan nasional – perjuangan ini hanyalah perjuangan untuk menjadi kekuatan imperialis baru, atau satelitnya imperialis.
“Karena itulah perjuangan melawan penindasan nasional harus dilakukan sebagai perjuangan melawan imperialisme, demi sosialisme.”
Imperialisme bukanlah sekedar fase dalam kapitalisme, ia pun berpotensi menjadi fase terakhir. Ini adalah fase dimana perang menjadi fitur yang konstan, tetapi ini juga fase dimana kondisinya cocok untuk menumbangkan kapitalisme, berkat sosialisasi (dalam artian) alat produksi, dan internasionalisasi dari relasi sosial. Anti-Imperialisme, melalui lensa kelirunya kebanyakan orang sayap kiri yang ingin melawan imperialisme barat, mengarahkan orang-orang untuk hanya mendukung saingan imperialis lain, atau bisa juga untuk melemahkan perjuangan proletar di negara-negara yang lebih kecil, Peran kaum komunis, dalam kata-kata Gazeta Robotnicza, adalah untuk “mendukung perjuangan kaum proletar di negara-negara kolonial melawan kapital Eropa dan domestik, dan [...] juga mencoba menyebarkan perspektif di antara kaum proletar kolonial bahwa kepentingan permanennya membutuhkan solidaritas bukan dengan kaum borjuis nasionalnya, tetapi dengan kaum proletar Eropa yang berjuang untuk sosialisme.”
Itulah sebabnya di CWO, kami secara konsisten mengemukakan slogan 'tiada perang kecuali perang kelas', dan kami terus melakukannya di mana pun kami berada(4) – meskipun perjuangan kelas pekerja saat ini sebagian besar sedang tidak aktif. Kami mengusung posisi kami yang menentang imperialisme, sebagai bentuk kapitalisme, dan menentang semua bentuk atau iterasinya, baik dalam protes pro-Palestina, pemogokan serikat pekerja, pameran buku para anarkis, ataupun demonstrasi massa – dan kami berusaha mencoba menerbitkan secara berkala tentang intriknya para penguasa imperialis, melalui cara militer maupun ekonomi, dan juga untuk mendidik diri kami sendiri dan orang lain tentang apa yang harus kami persiapkan.
Ini bukanlah posisi yang mudah diambil karena narasi borjuis tidak hanya bersifat membela imperialisme, tetapi juga posisi yang menyimpang dari kelompok yang memproklamirkan diri sebagai komunis. Dan ini bukanlah posisi yang mudah untuk diambil ketika nyawa telah menjadi korban imperialisme dalam skala yang begitu besar, dan ketika prospek perang dunia yang menakutkan. Namun, ini juga bukanlah posisi yang mudah bagi para pendahulu politik kita dalam perang dunia sebelumnya. Ketika Polandia dihancurkan oleh tiga kekaisaran yang bersaing, dan kaum borjuis Polandia pun menganjurkan kemerdekaan nasional sebagai satu-satunya "solusi", kaum komunis yang terdahulu menulis sebagai berikut:
“Imperialisme adalah kebijakannya kapitalisme pada tahap perkembangannya yang memungkinkan produksi dari organisasi sosialis. [...] Perjuangan melawan perang pun membuka zaman yang baru. Dengan menunjukkan kepada kaum proletar bagaimana kapitalisme, yang atas nama kepentingannya sendiri, mengirim orang-orang ke rumah jagal, mencabik-cabik bangsa, menginjak-injak kebutuhan nasional, memperlakukan massa seperti ternak dungu; dan dengan memprotes penumpahan darah rakyat ini, pemisahan negara-negara secara sewenang-wenang di antara negara-negara adikuasa, penindasan nasional yang semakin berganda, kita mempersiapkan kaum proletar untuk perjuangan revolusioner.”
Diskusi
Setelah presentasi, dibuka kesempatan untuk berdiskusi, dimulai dengan pertanyaan tentang penerapan praktikal dari sikap politik kita dan ‘bagaimana orang yang di ruangan ini' bisa beraksi, terutama mengingat fakta bahwa politik kita berbeda dari kebanyakan pihak yang menanggapi isu tersebut, misalnya seperti bagaimana kita memandang diri kita sendiri terkait dengan gerakan yang ada seperti protes Palestina. Sebagai tanggapan, kami mengklarifikasi dasar perbedaan kami – yaitu, bahwa meskipun kami bersimpati kepada mereka di protes Palestina dengan para korban pembantaian di Gaza dan Lebanon, kami melihat bahwa solusi nasionalis itu sama sekali bukanlah solusi yang tepat, namun hanya akan mengarah pada penggambaran ulang garis pertempuran yang tak berkesudahan. Kami menunjuk pada perjuangan pembebasan nasional yang 'berhasil' seperti Polandia dan Israel sebagai contoh nyata dari hal tersebut, serta gerakan dekolonisasi di Afrika; dalam setiap kasus, kemerdekaan nominal sama sekali tidak berarti kemerdekaan 'sejati' dalam artian apa pun karena sistem kapitalisme global dalam fase imperialisnya masih tetap utuh. Jauh dari memberikan kebebasan bagi siapa pun, hal ini hanya akan menjadi pertanda terhadap konflik yang akan datang tanpa henti.
Terlebih lagi, sejarah telah menunjukkan kepada kita bahwa satu-satunya kekuatan yang mampu menghentikan perang adalah gerakan massa kelas pekerja – di sini kami memberikan contoh Perang Dunia Pertama yang diakhiri oleh gelombang revolusioner yang dimulai di Rusia dan menyebar ke Jerman dan kemudian di seluruh dunia, kita bandingkan dengan gerakan protes massa yang gagal menghentikan invasi Irak pada tahun 2003. Jadi, dalam hal apa yang dapat kita lakukan oleh dari sedikit orang yang telah sampai pada kesimpulan ini, dengan tiadanya gerakan kelas pekerja yang mampu melakukan tugas tersebut, jawabannya adalah tidak banyak yang bisa kita lakukan, tetapi kita dapat terus mengadvokasi perspektif kita dalam kapasitas kita sebagai anggota kelas pekerja, di tempat kerja dan komunitas kita. Kaum Bolshevik juga memulai sebagai minoritas kecil – pengalaman peranglah yang membuat pesan internasionalis mereka relevan bagi massa yang lebih luas.
Sementara itu, kita juga dapat menunjukkan contoh-contoh positif perlawanan terhadap perang yang sedang berlangsung, seperti para desertir dari Rusia dan Ukraina, seperti yang ditunjukkan oleh salah satu kontribusi. Ada kesepakatan umum bahwa ini adalah hal positif yang tentu harus disoroti oleh propaganda kita, dan ini mengarah pada diskusi tentang contoh-contoh perlawanan lainnya, misalnya di Israel, dan contoh-contoh perlawanan terhadap perang lainnya, misalnya kisah-kisah tentang perempuan yang berorganisir melawan wajib militer di Ukraina, dan berbagai pekerja di seluruh Eropa yang menolak untuk mengirim senjata. Walaupun beberapa kasus di atas hanya menunjukkan bahwa orang-orang dapat mengambil kesimpulan yang dekat tapi tidak sama, kasus-kasus tersebut pun menunjukkan bahwa masyarakat dapat dan mulai mempertanyakan dan menolak perang, dan peran kita adalah untuk memberikan kerangka politik dan preseden sejarah atas tindakan yang mereka ambil.
Terdapat juga kontribusi mengenai bagaimana migrasi dan ketidakpastian telah mempengaruhi kelas pekerja dengan berkontribusi terhadap atomisasi diri dan perasaan bahwa kita dapat dibuang begitu saja, melemahkan rasa kebersamaan komunitas dari banyak kelas pekerja, dan juga melemahkan perasaan bahwa mencoba untuk mengubah sesuatu di situasi kita adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Kita mengingatkan kembali bagaimana pekerja selalu menjadi kelas migran, berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari pekerjaan dan kehidupan yang lebih baik.
Ada pertanyaan lain yang membandingkan situasi di akhir Perang Dunia Pertama dan sekarang, yang menunjukkan bahwa meskipun akhir Perang Dunia Pertama menyaksikan gelombang revolusioner yang menyebar ke seluruh Eropa, jika kelas pekerja di Ukraina atau Palestina, misalnya, mencoba untuk memberontak, mereka akan dibantai begitu saja. Kami menanggapi hal ini dengan mengatakan bahwa kelas pekerja Rusia juga harus menghadapi kenyataan yang sama, dan inilah tepatnya mengapa, seperti sekarang ini, setiap gerakan revolusioner harus didasarkan pada harapan bahwa gerakan tersebut akan menyebar secara internasional, atau gerakan tersebut akan gagal. Memang, kegagalan utama gelombang revolusioner di Eropa itulah yang pada akhirnya mengutuk revolusi di Rusia.(5)
Saat itu ada pertanyaan lain tentang topik anti-fasisme, yang mengakui bahwa semua gerakan front populer dalam sejarah pada akhirnya mengkhianati kelas pekerja, tetapi meskipun demikian, tentu saja kita lebih suka hidup di bawah Churchill daripada di bawah Hitler, dan karenanya kami ditanya bagaimana kami bisa menangani kontradiksi yang nyata ini. Terhadap hal ini kami menanggapi bahwa kami menentang fasisme dengan perjuangan kelas pekerja melawan kapitalisme, karena perjuangan yang hanya melawan fasisme saja tidak dapat menyingkirkannya.(6) Kami memahami fasisme sebagai konsekuensi dari kapitalisme, tanggapan putus asa dari kelas kapitalis terhadap krisis sistem dan ancaman revolusi kelas pekerja. Lebih jauh, kami telah melihat bahwa kekalahan negara Jerman dan Italia dalam Perang Dunia Kedua belum bisa mengakhiri adanya fasisme. Faktanya, neo-fasis saat ini berada di parlemen dan bahkan pemerintahan di sejumlah negara, dan nasionalisme serta militerisme adalah hasil alami dari sistem kapitalis itu sendiri – satu-satunya cara kita dapat benar-benar menyingkirkannya dari dunia adalah dengan menggulingkan kapitalisme itu sendiri.
Inipun mengarah kembali kepada bagaimana kita melihat peran kita dalam berhubungan dengan kelas pekerja dan perjuangannya. Berpegang pada front populer atau gerakan pembebasan nasional hanya akan menjadi penghalang bagi potensi revolusioner apa pun. Meskipun bisa mengecewakan jika melawan arus, kita harus terus mewakili posisi internasionalis yang sejati.
Meeting kita ditutup dan dilanjutkan dengan diskusi informal yang lebar. meeting tersebut dihadiri oleh wajah-wajah baru dan juga yang lama. Diskusinya tentu saja diperkaya oleh berbagai orang yang hadir yang berasal dari berbagai latar belakang politik, dan percakapan pun akan tetap dilanjutkan. Diskusi tersebut tidak pernah kehilangan rasa urgensi. Tiada yang berteori hanya untuk terlihat pintar, tetapi lebih kepada pemahaman bahwa jurang perang semakin terbuka hari demi hari, dan bahwa hal tersebut hanya akan memperburuk kehidupan para pekerja di mana pun, dan juga pertanyaan bersama tentang ke mana kita akan melangkah.
—Communist Workers’ Organisation
Desember 2024
Keterangan
(1) Imperialism, the Highest Stage of Capitalism
(2) Stalin and Stalinism
(3) Radek's Theses on Imperialism (1915)
(4) The No War but the Class War Initiative
(5) Russia: Revolution and Counter-Revolution, 1905-1924 - A View from the Communist Left
(6) Anti-Fascism Against the Working Class
Sabtu, 14 Desember, 2024
ICT sections
Basics
- Bourgeois revolution
- Competition and monopoly
- Core and peripheral countries
- Crisis
- Decadence
- Democracy and dictatorship
- Exploitation and accumulation
- Factory and territory groups
- Financialization
- Globalization
- Historical materialism
- Imperialism
- Our Intervention
- Party and class
- Proletarian revolution
- Seigniorage
- Social classes
- Socialism and communism
- State
- State capitalism
- War economics
Facts
- Activities
- Arms
- Automotive industry
- Books, art and culture
- Commerce
- Communications
- Conflicts
- Contracts and wages
- Corporate trends
- Criminal activities
- Disasters
- Discriminations
- Discussions
- Drugs and dependencies
- Economic policies
- Education and youth
- Elections and polls
- Energy, oil and fuels
- Environment and resources
- Financial market
- Food
- Health and social assistance
- Housing
- Information and media
- International relations
- Law
- Migrations
- Pensions and benefits
- Philosophy and religion
- Repression and control
- Science and technics
- Social unrest
- Terrorist outrages
- Transports
- Unemployment and precarity
- Workers' conditions and struggles
History
- 01. Prehistory
- 02. Ancient History
- 03. Middle Ages
- 04. Modern History
- 1800: Industrial Revolution
- 1900s
- 1910s
- 1911-12: Turko-Italian War for Libya
- 1912: Intransigent Revolutionary Fraction of the PSI
- 1912: Republic of China
- 1913: Fordism (assembly line)
- 1914-18: World War I
- 1917: Russian Revolution
- 1918: Abstentionist Communist Fraction of the PSI
- 1918: German Revolution
- 1919-20: Biennio Rosso in Italy
- 1919-43: Third International
- 1919: Hungarian Revolution
- 1930s
- 1931: Japan occupies Manchuria
- 1933-43: New Deal
- 1933-45: Nazism
- 1934: Long March of Chinese communists
- 1934: Miners' uprising in Asturias
- 1934: Workers' uprising in "Red Vienna"
- 1935-36: Italian Army Invades Ethiopia
- 1936-38: Great Purge
- 1936-39: Spanish Civil War
- 1937: International Bureau of Fractions of the Communist Left
- 1938: Fourth International
- 1940s
- 1960s
- 1980s
- 1979-89: Soviet war in Afghanistan
- 1980-88: Iran-Iraq War
- 1982: First Lebanon War
- 1982: Sabra and Chatila
- 1986: Chernobyl disaster
- 1987-93: First Intifada
- 1989: Fall of the Berlin Wall
- 1979-90: Thatcher Government
- 1980: Strikes in Poland
- 1982: Falklands War
- 1983: Foundation of IBRP
- 1984-85: UK Miners' Strike
- 1987: Perestroika
- 1989: Tiananmen Square Protests
- 1990s
- 1991: Breakup of Yugoslavia
- 1991: Dissolution of Soviet Union
- 1991: First Gulf War
- 1992-95: UN intervention in Somalia
- 1994-96: First Chechen War
- 1994: Genocide in Rwanda
- 1999-2000: Second Chechen War
- 1999: Introduction of euro
- 1999: Kosovo War
- 1999: WTO conference in Seattle
- 1995: NATO Bombing in Bosnia
- 2000s
- 2000: Second intifada
- 2001: September 11 attacks
- 2001: Piqueteros Movement in Argentina
- 2001: War in Afghanistan
- 2001: G8 Summit in Genoa
- 2003: Second Gulf War
- 2004: Asian Tsunami
- 2004: Madrid train bombings
- 2005: Banlieue riots in France
- 2005: Hurricane Katrina
- 2005: London bombings
- 2006: Comuna de Oaxaca
- 2006: Second Lebanon War
- 2007: Subprime Crisis
- 2008: Onda movement in Italy
- 2008: War in Georgia
- 2008: Riots in Greece
- 2008: Pomigliano Struggle
- 2008: Global Crisis
- 2008: Automotive Crisis
- 2009: Post-election crisis in Iran
- 2009: Israel-Gaza conflict
- 2006: Anti-CPE Movement in France
- 2020s
- 1920s
- 1921-28: New Economic Policy
- 1921: Communist Party of Italy
- 1921: Kronstadt Rebellion
- 1922-45: Fascism
- 1922-52: Stalin is General Secretary of PCUS
- 1925-27: Canton and Shanghai revolt
- 1925: Comitato d'Intesa
- 1926: General strike in Britain
- 1926: Lyons Congress of PCd’I
- 1927: Vienna revolt
- 1928: First five-year plan
- 1928: Left Fraction of the PCd'I
- 1929: Great Depression
- 1950s
- 1970s
- 1969-80: Anni di piombo in Italy
- 1971: End of the Bretton Woods System
- 1971: Microprocessor
- 1973: Pinochet's military junta in Chile
- 1975: Toyotism (just-in-time)
- 1977-81: International Conferences Convoked by PCInt
- 1977: '77 movement
- 1978: Economic Reforms in China
- 1978: Islamic Revolution in Iran
- 1978: South Lebanon conflict
- 2010s
- 2010: Greek debt crisis
- 2011: War in Libya
- 2011: Indignados and Occupy movements
- 2011: Sovereign debt crisis
- 2011: Tsunami and Nuclear Disaster in Japan
- 2011: Uprising in Maghreb
- 2014: Euromaidan
- 2017: Catalan Referendum
- 2019: Maquiladoras Struggle
- 2010: Student Protests in UK and Italy
- 2011: War in Syria
- 2013: Black Lives Matter Movement
- 2014: Military Intervention Against ISIS
- 2015: Refugee Crisis
- 2016: Brexit Referendum
- 2018: Haft Tappeh Struggle
- 2018: Climate Movement
People
- Amadeo Bordiga
- Anton Pannekoek
- Antonio Gramsci
- Arrigo Cervetto
- Bruno Fortichiari
- Bruno Maffi
- Celso Beltrami
- Davide Casartelli
- Errico Malatesta
- Fabio Damen
- Fausto Atti
- Franco Migliaccio
- Franz Mehring
- Friedrich Engels
- Giorgio Paolucci
- Guido Torricelli
- Heinz Langerhans
- Helmut Wagner
- Henryk Grossmann
- Karl Korsch
- Karl Liebknecht
- Karl Marx
- Leon Trotsky
- Lorenzo Procopio
- Mario Acquaviva
- Mauro jr. Stefanini
- Michail Bakunin
- Onorato Damen
- Ottorino Perrone (Vercesi)
- Paul Mattick
- Rosa Luxemburg
- Vladimir Lenin
Politics
- Anarchism
- Anti-Americanism
- Anti-Globalization Movement
- Antifascism and United Front
- Antiracism
- Armed Struggle
- Autonomism and Workerism
- Base Unionism
- Bordigism
- Communist Left Inspired
- Cooperativism and Autogestion
- DeLeonism
- Environmentalism
- Fascism
- Feminism
- German-Dutch Communist Left
- Gramscism
- ICC and French Communist Left
- Islamism
- Italian Communist Left
- Leninism
- Liberism
- Luxemburgism
- Maoism
- Marxism
- National Liberation Movements
- Nationalism
- No War But The Class War
- PCInt-ICT
- Pacifism
- Parliamentary Center-Right
- Parliamentary Left and Reformism
- Peasant movement
- Revolutionary Unionism
- Russian Communist Left
- Situationism
- Stalinism
- Statism and Keynesism
- Student Movement
- Titoism
- Trotskyism
- Unionism
Regions
User login
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.